1. Asmaul Husna
2. Mukjizat Tahajud & Subuh
3. Mukjizat sholat Hajat & Dhuha
4. Etika Bergaul di Tengah gelombang Perubahan (Kajian Qitab Kuning)
5. Dakwah Cara Nabi Jilid I
6. Istana Hati : Korelasi antara Hati & Tubuh dalam 7an Insani
7. Wasiat Para Wali & Shalihin 2
8. Dua Pendidik sejati
1. Di dalam menapaki kehidupan, tiada manusia yang luput dari masalah. Namun pada setiap masalah pasti ada jalan keluarnya, dan pada setiap masalah itu pasti ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Sebagai manusia, yang penuh dengan kekurangan dan ketidakberdayaan, hendaklah kita menyerahkan segala masalah yang kita hadapi kepada Allah.
Agar kita dapat dan segera keluar dari masalah, syari’at mengajarkan kepada kita doa dan munajat. Doa dan munajat adalah bentuk ungkapan rasa ketidakberdayaan dan kekerdilan diri manusia di hadapan Tuhan, di samping sebagai ungkapan pengakuan yang tulus bahwa Allah-lah Yang memiliki dan memegang kekuasaan atas hamba-hamba-Nya dan hanya Dia Yang mampu menyelesaikan segala masalah.
Ada banyak cara dalam berdoa. Salah satu cara yang paling mustajab adalah dengan Asmaul Husna, nama-nama Allah yang indah. Allah SWT berfirman, “Hanya milik Allah-lah Asmaul Husna (nama-nama yang indah yang menunjukkan sifat-sifat-Nya yang agung lagi mulia), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu….” (QS Al-A`raf: 180).
Untuk memantapkan hati dalam berdoa, kita harus memahami makna setiap nama-nama Allah itu. Dengan memahami maknanya, keistimewaannya, dan bagaimana berdoa dengannya, insya Allah Anda akan menjadi pribadi yang dapat menyingkapi berbagai misteri dalam kehidupan dan keluar dari berbagai permasalahan dengan optimisme dan penuh keyakinan terhadap pertolongan dan rahmat Allah SWT, guna meraih kesuksesan dan kebahagiaan dunia-akhirat.
2. Shalat Subuh memiliki keutamaan yang begitu menakjubkan. Demikian pula dengan shalat Tahajjud, shalat sunnah yang paling utama di antara shalat sunnah lainnya. Keutamaan yang dijanjikan Allah berlimpah ruah, tersiar kepada hamba-hamba-Nya, yakni mendapatkan kedudukan yang tinggi dan mulia di dunia dan akhirat kelak.
Namun waktu-waktu kedua shalat itu terdapat pada waktu ketika manusia terlelap dalam tidurnya, di tengah mimpi indahnya. Keutamaan itu berada di waktu yang berat dan untuk mendapatkannya diperlukan perjuangan yang berat pula dan sungguh-sungguh. Allah menjadikannya sebagai ujian bagi setiap hamba-Nya yang menginginkan kemulian dan derajat yang tinggi, baik di dunia maupun akhirat.
Barang siapa ikhlas menjalankannya, ia akan lulus dan mendapatkan semua kemuliaan dan ketinggian yang dijanjikan. Namun, siapa yang merasa terbebani dengan ujian tersebut, serta tidak pernah berjuang untuk menunaikannya, ia akan merugi dan jatuh ke dalam jurang penyesalan yang tidak ada lagi jalan untuk menebus segala keluputan yang telah dilakukannya.
3. Shalat Hajat dan shalat Dhuha adalah shalat sunnah yang telah menjadi tradisi dan kebiasaan orang-orang shalih. Mereka bersujud pada saat matahari mulai beranjak naik, menghaturkan pujian kepada Allah SWT dan bersyukur atas nikmat yang telah diberikan. Mengarahkan hati mereka, dengan gerakan ritual, untuk bertasbih, menyucikan Allah, Yang Mahakuasa, dari segala bentuk penyerupaan dan penyekutuan.
Mengawali hari dengan ibadah merupakan senjata dan benteng paling hebat bagi seorang muslim, agar mampu mengalahkan dan tidak terjerumus ke dalam godaan hawa nafsu, serta selamat dari berbagai tipu daya kehidupan. Dan ibadah sunnah di awal hari dalam bentuk ritus shalat tidak lain adalah shalat Dhuha.
Melalui shalat Dhuha, kita memohon kepada Allah SWT agar dijaga dari segala marabahaya yang mengancam dan memohon pertolongan demi meraih segala kesuksesan. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits qudsi, “Wahai anak Adam, jangan sampai kalian tertinggal untuk melakukan ibadah kepada-Ku dengan empat rakaat di awal hari, maka Aku akan cukupi (kebutuhan) kalian hingga akhir hari.”
4. Sudah menjadi kodrat manusia, tidak bisa hidup sendiri. Ia butuh orang lain. Fitrah inilah yang mendorong manusia untuk menjalin hubungan dengan sesamanya.
Setiap masyarakat dan budaya memiliki etika pergaulannya sendiri, namun tak bisa dipungkiri ada nilai-nilai universal yang di dalamnya terdapat etika pergaulan yang universal pula. Karena itu tidak mengherankan jika kita temukan adanya beberapa kesamaan konsep pergaulam yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam kitab Bidayah Al-Hidayah dengan konsep yang dikemukakan salah satu tokoh Barat, Dale Carnegie, dalam bukunya How to Win Friend and Influence People.
Ini membuktikan bahwa kebudayaan dan peradaban manusia sesungguhnya linier. Walaupun secara bathiniyah memiliki niat dan motivasi yang berbeda, dalam tataran praktis terdapat kesamaan-kesamaan yang mengerucut pada satu titik yang menjadi nilai-nilai universal dan kemudian diakui sebagai sebuah kebenaran bersama yang tak terbantahkan.
Pada saat ini, seperti yang digambarkan John Ruggie, tokoh Barat lainnya, dunia benar-benar sedang dilanda gelombang perubahan (times of change), dalam semua aspek kehidupan. Di satu sisi fenomena peradaban ini sangat bermanfaat bagi umat manusia, tetapi di sisi lain juga sangat mencemaskan. Salah satu dampak perubahan yang mencemaskan adalah terjadinya pemiskinan akhlaq dan pengabaian terhadap etika, termasuk etika pergaulan (akhlaqul karimah).
Terkait dengan fenomena di atas, selain mendalami khazanah modern, sangat perlu untuk kembali mengkaji secara cermat apa yang telah diwariskan oleh para ulama salaf terdahulu (baca: kitab kuning) tentang konsep etika pergaulan yang penuh dengan mutiara hikmah, untuk menjalin pergaulan yang baik di tengah derasnya gelombang perubahan yang sedang berlangsung.
Sebut misalnya kitab Al-Ghunyah li At-Thalab Al-Ilm, karya Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, dan kitab Bidayah Al-Hidayah, karya Imam Al-Ghazali. Dengan menggabungkan keduanya, insya Allah akan terwujud kekuatan yang besar untuk menjawab tantangan zaman dengan tetap berpijak di atas landasan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Quran dan sunnah.
5. Berdakwah di jalan Allah adalah sifat dan kebiasaan para nabi dan rasul. Mereka diutus, diperintahkan, dan diberi wasiat untuk melaksanakan dakwah. Karena dakwah ini pula, pewaris mereka, kaum ulama, para wali, dan kaum shalihin, mengikuti dan meneladani mereka.
Mereka, dalam setiap keadaan, zaman, dan waktu, senantiasa mengajak manusia ke jalan Allah, melakukan ketaatan kepada-Nya, dengan ucapan dan perbuatan yang dibarengi dengan usaha dan upaya sungguh-sungguh demi meraih ridha Allah SWT.
Buku ini, karya seorang ulama yang juga awliya’ yang shalih dan zuhud, Al-Imam Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, berisi nasihat-nasihat bagi para juru dakwah, juga peringatan bagi para ulama, orang-orang zuhud, ahli ibadah, para pejabat negara, pengusaha, karyawan, kaum miskin, orang-orang yang taat, juga orang yang bermaksiat.
6. Ibarat sebuah kerajaan, jiwa dan raga manusia memiliki komponen yang saling membantu. Hati menjadi sentralnya, mengatur semua gerak aktivitas tubuh dan pikiran. Hati memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan baik-buruknya perilaku manusia.
Namun hati tak berdiri sendiri. Apa yang ada di hati merupakan hasil timbal balik dari apa yang dilakukan oleh tubuh. Gerak hati mempengaruhi perilaku tubuh, sementara perilaku tubuh membawa dampak balik ke dalam hati.
Melalui salah satu karya agungnya ini, Habib Umar mengulas berbagai sisi keterkaitan hati dan anggota tubuh dalam membentuk jati diri manusia. Ia juga memberikan nasihat-nasihat agar hati kita tetap bersih dan diridhai Allah SWT. Di antara nasihatnya, menjaga keluarga dari barang-barang syubhat, apalagi barang yang haram.
Barang syubhat, serta keberadaanya di dalam perut dan tubuh, memiliki bahaya dan akibat buruk yang berpengaruh kuat dalam kehidupan saat ini, kelak, dan pada saat kembali kepada Tuhan. Oleh karena itu, menjaga perut agar tidak dimasuki barang syubhat merupakan salah satu tanda iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Juga merupakan salah satu sebab keselamatan dan keterjagaan jasmani dan ruhani, di dunia dan akhirat.
7. Tiada kalimat yang lebih patut didengar atau dibaca setelah Kalamullah dan hadits Rasulullah SAW kecuali kalimat yang keluar dari hati yang ikhlas. Di antaranya kalimat-kalimat para wali dan shalihin, yang penuh dengan untaian hikmah.
Dalam buku ini ditulis berbagai nasihat para wali atau shalihin yang intinya agar menjadikan kita orang yang bahagia dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Buku ini diawali dengan wasiat yang paling utama, yaitu taqwa kepada Allah. Bagaimana taqwa yang sebenarnya, apa arti taqwa. Dilanjutkan dengan wasiat lainnya, seperti sabar, syukur, dan ikhlas, disertai dengan penjelasan dari Al-Quran dan hadits, juga ucapan para sahabat dan ulama besar lainnya.
Jika kita ingin mencapai derajat seperti derajat para wali dan shalihin, setidaknya kita berusaha untuk mencontoh dan mengamalkan apa yang diamalkan para wali. Dan amalan mereka dapat kita ketahui salah satunya dari nasihat mereka.
8. Dua Pendidik Sejati: Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih dan Prof. Dr. Al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih. Nasab mereka berasal dari hamba yang paling mulia, Rasulullah SAW. Jejak dan perbuatan mereka pun selalu berada di atas jalan Rasulullah SAW. Mereka juga sama-sama ahli hadits, guru, dan pendidik yang tak kenal lelah. Kehidupan mereka sepenuhnya dicurahkan untuk mencetak kader-kader Islam yang andal.
Pernah suatu ketika di saat menuntut ilmu, Habib Abdul Qadir ditegur dan diperingatkan gurunya, padahal ketika itu ia berada pada pihak yang benar. Setelah memahami bahwa sang murid benar, gurunya pun meminta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata, “Wahai guruku, andaikan engkau memukulku, sedang aku ada di pihak yang benar, aku rela dan tak ada rasa dendam sedikit pun dalam diri ini.”
Begitu pula dengan Habib Abdullah. Pada usia 7 tahun, ia telah hafal Al-Quran, dan pada usia sekitar 20 tahun telah mampu menghafal kitab hadits Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim lengkap dengan matan dan sanadnya yang bersambung hingga Rasulullah.
Kedua habib ini adalah ayah dan anak yang sama-sama berjuang berdakwah mensyiarkan Islam. Meski beda generasi, mereka bahu-membahu membangun lembaga pendidikan yang kini cukup berpengaruh, yaitu Pondok Pesantren Darul Hadis Al-Faqihiyah Li Ahlussunnah waljama’ah, Malang.
Kini mereka memang telah tiada. Tapi warisan, jejak karamah, serta ilmunya tetap abadi. Majelis-majelis yang mereka rintis pun tetap berjalan dan bahkan berkembang. Makam mereka tak pernah sepi dari para peziarah. Setiap haul, ribuan manusia menghadiri. Mereka tidak sekadar berziarah, tapi juga mengharap berkah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar